Tuesday, December 19, 2006,3:24 AM
Mesin Tik
Akhirnya aku membuka lagi alat tulis ini. Sudah usang, penuh debu yang membuat hidungku meler karena alergi. Wadahnya berjelaga dan bau asap. Sudah berkali-kali aku mengingatkan ibu agar tidak memasak dengan kayu bakar. Semua peralatanku termasuk baju, buku dan radio warisan dari nenek yang masih dalam sengketa dengan paman-pamanku, semuanya terkena imbas asapnya. Walau demikian aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku tak punya uang untuk membelikan ia minyak tanah. Hari ini harga minyak satu liter sama dengan harga sebatang rokoknya orang kaya yang membuang puntung setengah dari harga utuhnya.
Alat tulis ini pun ku lap dengan hati yang sedikit ngenes, beberapa tahun lalu alat yang aku punya ini adalah alat tulis tercangih dari yang pernah ada. Setiap kantor menggunakannya termasuk kantor kenegaraan sekalipun. Tetapi si edan Bill Gates mengacaukan petualangan cinta mesin ini, yang seketika menjadi fosil renik.
Sekarang zaman telah maju, pak RT sebelah rumah pun tersenyum ketika melihat mesin ini dari balik jendela yang hanya terhalang jeruji besi. Suaranya yang gaduh membuatnya semakin lebar tersenyum sambil menggoyangkan kepalanya seperti si Tumang anjing orang batak seberang jalan. Andai saja ia tahu apa yang sedang kutulis ini, mungkin ia akan memujiku dan mengacungkan kedua jempolnya. Alat kuno ini seharusnya sudah disimpan di lemari kaca sebuah museum kebudayaan, ya mungkin untuk menjelaskan peradaban dunia baru dengan sistem informasi dunia lewat satu sentuhan jari saja.
Tak tik tuk tok aku jadi mengerti dan tersenyum sendiri mengapa manusia dalam lingkup kebudayaanku menyebutnya mesin tik. Mungkin karena suara yang mereka tangkap dari mesin ini adalah tik, lantas mereka lambangkan mesin ini dengan nama TIK. Tapi mengapa tidak tok atau mesin tik tok saja?. Aku pun berhenti sampai disitu, karena untuk apa aku ambil pusing yang jelas aku setuju dan menikmatinya.
Jari-jari ini kian lama kian terasa sakit karena harus dengan tenaga ekstra aku mengoperasikan alat ini. Jika tidak tinta dari pita mesin ini tidak akan kaget dan memuntahkan isinya. Tenaga ekstra, ah sama saja dengan kekerasan, mesin ini sama saja dengan pola pemikiran pada masa keemasannya kekerasan menjadi perlu untuk mempertahankan kekuasaan suatu rezim.
Kini aku mulai akrab lagi dengan suara gaduhnya yang tadinya mirip suara tembak menembak yang terjadi di sekitar timur tengah. Sekarang aku merasakan seperti sedang berada di dalam gedung JHCC yang tengah menampilkan lagu-lagu melankolis dengan penyanyi Chrisye diiringi permainan piano Erwin Gutawa. Akupun terkadang menjadi mas Erwin yang dengan tuts mesin ini mengiringi jiwaku bernyanyi, senandung yang kering. Sebenarnya jika mau sombong tuts-tuts mesin ini beroktaf nada lebih banyak jika dibandingkan dengan pianonya Tia dari TNT orkestra. Tuts ini bernada tidak hanya do, re, mi dan seterusnya. Mesin ini bernada kesal, sedih, marah, tawa dan cinta atau apa saja yang aku mau dan tidak aku mau.
Jika malam telah larut suara ini ditambah dengan suara ibuku yang menyuruhku untuk berhenti bercinta dengan kekasihku ini. Mungkin karena desah dan rintihnya mengganggu konsentrasi ibuku yang sedang berharap pada Tuhan, berharap agar hidup kami berubah. Tapi ibuku tak mengerti bahwa hidupku telah berubah, persetubuhanku dengan mesin ini, membuahkan beberapa cerita, puisi, di sini aku berubah bukan lagi si miskin tetapi seorang raja minyak, puisi-puisiku terbang mengawang menyentuh langit ujung. Rieut... begitulah komentar ibuku.
Angin shubuh membuat jariku kaku. Otakku buntu dan kupikir obatnya hanya selimut dan tidur. Besok kurencanakan mengirim anak hasil persetubuhan ini untuk sebuah majalah
Sekira pukul sepuluh, setelah mandi, aku pergi ke kantor pos. Dengan harap tulisanku ini sampai, dan mengetuk syaraf sang redaktur untuk memuatnya dalam edisi minggu depan.
Kembali kerumah ibuku sudah tak ada, entah kemana. Di dapur tak ada sepiring nasipun. Aku kembali ke ruang tamu yang sekaligus tempat aku tidur sambil menghidupkan Radio. Tak lama ibu kembali dengan membawa dua kantong plastik. Telur, tempe dan beras. “Mesin tulismu cuma laku empat puluh ribu, ini pun sisa bayar tagihan listrik”.
 
diketik oleh helmi matari
0 ada komentar?
,3:03 AM
aku, kerja dan pelacur
entah kutukan atau rahmat aku bekerja, beberapa orang memandang kerja adalah kutukan bohong besar bicara waktu luang, bohong besar bicara idealisme (eh idealisme apaan?) yang ada hanya absen dan perhitungan pembayaran tenaga di akhir bulan.
seperti pelacur murahan atau pelacur elitan sama saja begitupun aku.
mau malam siang atau waktu kantor sama saja jika aku tak menikmatinya yaaaa akupun melacurkan diri dengan pekerjaan, germonya bisa siapa saja atau bentuk apa saja perusahaan atau warung kopi pinggir jalan.
iiiiih aku tak mau jadi pelacur, sebaiknya aku menikmati saja pekerjaan ini, katanya tak ada pelacur yang mau berciuman dengan pelanggannya tapi aku akan bercumbu dengan pekerjaan ini hehehehehe sampai aku orgasme!!!!!
karena aku bukan pelacur

beberapa pelacur menikmati pekerjaannya bukan karena keterpaksaan, mereka bukan pelacur mereka hanya mencintai hidup, mencintai diri sendiri untuk hidup esok hari.......

jangaaan, jangan haluskan panggilan kepada ku dengan menyebutku karyawan, aku tak berkarya aku hanya buruh........sebagian mengelompokan ku ke dalam kelas pekerja aku seorang Proletar
 
diketik oleh helmi matari
0 ada komentar?
seperti mentari yang tak mengeluh pada harus