Saturday, May 19, 2007,7:44 PM
Sekitar Pinggang dan Bebek Panggang
Setahun kebelakang saya sempat berjalan-jalan dengan seseorang, ia mengenalkan saya ke tempat yang biasa didatangi lelaki hidung belang (hidungnya sih biasa saja walau tak pesek seperti saya, tapi tak belang juga). beberapa tukang ojek disana berpenumpang perempuan dengan dandanan seakan pergi ke pesta (maklum di kampung saya jika perempuan dandan agak sedikit menor kata ibu sih ia akan peri ke hajatan atau kenduri).

Perempuan itu mendekati sebuah mobil yang kacanya terbuka dan menepi, sudah tiga mobil berlalu begitu saja, membuka kaca, menepi dan pergi lagi.

Hari mulai dini, jam setengah dua hari minggu, akhirnya mobil keempat menepi (seperti sudah menjadi siklus membuka kaca, menepi) agak lama ia memasukan kepalanya ke kaca mobil (hehehe seperti hantu saja perempuan tanpa kepala), selanjutnya perempuan itu pun naik ke mobil, dan pergi entah...entah kemana.

Kami pun pergi, hanya kesan yang ada di kepala, berapa harganya? mungkin jika sudah shubuh begini gocap (50.000) pun jadi!!!!

Beberapa waktu lalu saya sempat diajak 2 orang teman untuk makan bersama. sebuah tempat yang menyajikan berbagai menu, eropah sampai tiongkok. bahkan di warung (teman saya menamainya kafe) sebelah beberapa orang tengah menghisap gaya hidup Sisha. ah tempat yang sebelumnya tak pernah terbayangkan apalagi menyambanginya.

Seorang pramumenu (apa istilahnya yaa untuk profesi orang yang menyodorkan sebundel daftar menu?) datang menghampiri dengan senyum yang dibuat-buat karena memang seharusnya lah dia berbuat seperti itu, katanya (dibuku-buku: bagian dari pelayanan).

Saya coba melihat dengan seksama daftar menu itu, bukan huruf yang pertama saya lihat tapi angka setelah lambang mata uang Indonesia. yaaa bukan nama suatu jenis makanan melainkan harga yang harus dibayar (walaupun bukan saya yang membayar). RP.45.000,- Rp. 80.000,-, Rp.......

Gilaaa Rp.80.000,- untuk setengah bebek panggang, sungguh harga yang menyeramkan. 2 orang teman saya sih biasa dengan harga bebek yang sadis ini, begitupun dengan 3 orang temannya yang datang agak terlambat.

Setelah datang bebek panggangnya, saya mencoba mencicip waaahhh rasanya maknyuuus (meniru gaya presenter di Station Televisi Makanan).

Aahhh sungguh ini kuasa Tuhan, bebek yang hanya unggas, kotor, bahkan di kampung saya sering berkubang di kotorannya sendiri, menjadi begitu mahal di atas meja makan, menjadi begitu bergengsi pada setiap pemesannya, saya yakin sampai shubuh pun harga tetap sama......

 
diketik oleh helmi matari
2 ada komentar?
seperti mentari yang tak mengeluh pada harus