Saturday, February 03, 2007,4:07 AM
Draft cerpen picisan
Jakarta, jakarta,
kemarau dan hujan jadi bencana
pembangunannya membuat iri
kemelaratannya dicibir
Unggas jadi urusan gubernur
Penyakit menjelma jadi status
ah........





draft yang tak pernah selesai karena saya tahu ini adalah sampah!!!!!!!
tetapi daripada bengong sambil nunggu hujan reda saya masukan saja ke blog ini,
sebagai kenangan menunggu di ruang rcd.......


Saya Mencoba menjadi Perempuan yang tak "biasa"

Menunggu dan Merindu

Hujan tak kunjung reda. Hari mulai diselimuti jubah malam yang kurasa kian pekat. Kian menutup celah-celah matahari yang mencinta bumi. Manusia pun tak mau kalah oleh alam, lampu-lampu otomatis segera bercahaya, kabulkan tuannya yang selalu rindu terang. Kilat memercik di angkasa walau guntur tak mengiringi untuk membuat kalap pendengarnya.

Telah satu jam aku menunggu. Kursi ini pun kurasa lelah menampung berat badanku yang tak ideal. Dengan lunglai ku paksa kedua kaki untuk berdiri sesaat, hanya sekedar melepas kejenuhan, lalu duduk lagi. Yang ku tunggu tak kunjung datang. Hati meronta dan merindu di balik kepulan asap bis yang baunya mirip obat nyamuk. Ditambah lagi dengan bau pesing, bau kencing yang sudah dapat kupastikan air kencing beberapa orang pria. Karena aku yakin perempuan tak pernah kencing sembarangan.

Tiga hari yang lalu, telegram itu menyulapku seolah menjadi seorang ratu yang merindukan anaknya kembali dari medan perang. Merindukan pelukan dan ciuman hangat sambil mendengar gumamannya memanggilku ibu. Panggilan yang tak pernah ku dengar darimu, karena kau baru setahun waktu itu.

Anakku, mungkin sekarang kau telah bisa berkata-kata, menyebut ibu padaku, menunjuk ini dan itu sambil mengucapkannya dan bukan meracau. Seperti ketika Adam diajarkan Tuhan untuk menyebut nama-nama di Taman Eden dan langsung mengerti. Semua orang sekarang mungkin mengerti apa yang kau maksud, karena kau tak lagi hidup dalam duniamu. Dunia yang hanya untukmu dan memaksa orang untuk mengerti. Sekarang kau mungkin telah banyak belajar bahwa kamu harus banyak mengerti orang lain ketimbang kau menuntut mereka mengertimu.

Empat tahun waktu yang lama setidaknya untukku. Aku yang melahirkanmu, yang menahan rasa sakit di pangkal selangkangan ketika kamu ingin bernafas, menghirup dunia. Tapi sakitnya tak sesakit ketika kamu dipaksa untuk meninggalkanku. Mungkin kamu tak tahu bahwa uang yang memaksamu pergi dariku. Ya... uang yang akan menghidupi kita.

Mungkin kamu sekarang akan bertanya, “mana bapak?”. Aku yakin hal itu menjadi sebuah kewajaran ketika teman-temanmu merasa bangga terhadap bapaknya. Sedangkan kamu, mungkin kamu tak tahu apa itu bapak atau ibu. Kamu hanya tahu nenek dan kakek saja. Sampai saat inipun aku takkan bisa menjawabnya. Akupun tak tahu siapa yang telah mengalirkan benih itu dalam rahimku. Yang kuingat dalam dua minggu terakhir sebelum kamu dinyatakan ada dan mulai menjadi kecambah dalam rahimku, aku melayani empat orang tamu. Semuanya meniduriku sebelum beberapa saat kemudian memasukan beberapa lembar uang ke balik kutang, ataupun kedalam saku celana. Di antara mereka ada yang mengaku seorang pejabat di Ibu kota, mungkin ia bapakmu, tapi sudah lah, toh takan berpengaruh walaupun benar.

Aku mulai pustus asa. Seiring dengan hujan yang mulai mereda. Mungkin kamu dan kakekmu tak jadi datang. Atau mungkin kamu menjadi enggan bertemu setelah tahu keadaan ibumu dari cerita-cerita orang di kampung. Tapi kuharap kau tak mendengarkannya karena itu adalah kebenaran yang akan menyakitkan kita.

Jarum pendek arloji merangkak sedikit demi sedikit, sekira tiga jam aku telah menunggu dan merindu. Sebaiknya aku pulang. Biarlah di dalam ruangan yang pekat dengan parfum itu aku menantimu.

*******

Mami menghampiriku. Akupun sudah mengerti isyarat yang ia berikan. Segera aku bergegas menuju meja bernomor 5 itu. Dengan senyum dan sedikit sentuhan ditangannya ku perdaya lelaki gendut itu. Permulaan yang baik biasanya dapat mengeruk uang yang sedikit lebih baik di atas standar. Setidaknya uang lebih itu tak diketahui Mami. Segelas bir hitam kupesan untuk sekedar menemaninya berceloteh mengenai keluarganya, politik, agama atau apa saja yang ia inginkan.

Lelaki gendut ini rasanya sudah tidak sabar lagi untuk mengumbar syahwatnya. Walau istrinya di rumah telah bersolek habis-habisan dan bisa membuatnya lunglai tak berdaya. Mungkin pula anak bungsunya yang sedang merengek di rumah ingin bertemu dengannya. Tapi ah aku tak mau ambil pusing, yang aku perdulikan seberapa besar ia bisa membayar kelihaianku di atas tempat tidur yang tentunya bukan untuk tidur. Setelah lelah berceloteh ia mengajakku untuk pergi, mengobrol di atas tempat tidur.

Seperti biasanya setelah beberapa saat tubuhnya bergetar hebat, aku kembali mengenakan pakaianku. Duduk di sampingnya sambil mengumbar kata-kata manja. Dia pun langsung mengerti dan merogoh saku celananya, menghitung beberapa lembar uang dan memberikannya padaku, sambil mencium dadaku. Selesai sudah pekerjaan, tinggal setor pajak pendapatanku pada Mami sebagai rasa terima kasihku, lalu pulang.

********

Kamar yang pekat oleh bau parfum ini melupakan aku pada apa yang telah terjadi beberapa jam sebelumnya. Ketika aku sedang meladeni pria-pria yang tengah aksyik-masyuk mengeksplorasi syahwatnya. Di ruangan ini, jauh di dalam hatiku sepi merasuk berlayar tak kunjung menepi.

Tatapanku tertuju pada seraut wajah polos yang tergantung di dinding.pada sebuah foto ukuran 10 R yang tersenyum. Entah iba atau bahagia menemaniku, menunggu kedatanganku selepas bekerja. Pikiranku menerawang, tatapanku seribu mil jauh menembus sekedar foto itu.

Setelah kuhapus gincu dan riasan wajahku, kurebahkan tubuhku di atas kasur yang bukan untuk bekerja. Jam yang dipeluk oleh dinding itu menunjukan pukul empat lebih. Sebentar lagi speaker mesjid mengumandangkan adzan waktu untuk segera tidur bagiku. Waktu untuk memulihkan stamina agar esok malam bisa tampil prima.

*******

Lamat-lamat kudengar pintu kamar sewaanku diketuk beberapa kali. Tak biasanya ada orang yang mengetuk sepagi ini. Baru pukul sepuluh jam dinding itu memberitahu melalui lirikan mataku yang layu. Dengan langkah malas kubuka tirai jendela. Aku terkesiap, tersentak, dadaku serasa berhenti sejenak. Di luar bapakku sedang berdiri dengan anak lelaki kecil di sampingnya.

Akupun lantas terburu membuka kunci. Tanpa ragu kupeluk anak itu. Anakku. Tapi ia malah menangis semakin menjadi-jadi. Bapakku mengobatiku dengan berkata “mungkin ia masih kaget lihat kamu neng”.. sebentar lagi ia takkan melepaskan dekapanmu”. Benar saja bapakku bukan hanya menghiburku. Dari mulut mungil anakku keluar kata-kata “iiiibu”. Dia terbata bukan karena belum bisa berkata-kata, mungkin masih ada keraguan dalam diri anakku yang baru berumur lima tahun itu.

Hari ini aku akan cuti, ingin kuhabiskan waktu bersama anakku. Beberapa jam setelah kedatangannya ia mulai akrab denganku. Ini tak terlepas dari didikan orang tuaku terhadapnya. Mungkin mereka mengatakan bahwa aku menyayanginya atau apapun yang menyebabkan anakku ini menjadi merindu pula terhadapku.

Dia menjadi semakin banyak bertanya tentang ini dan itu. Aku menjadi semakin terhibur dan semakin menyayanginya. Bahasanya lancar dan lugas kudengar. Ia memang akan menjadi anak yang pandai. Beberapa kali ia kupeluk dan kucium.

Bapakku pergi keluar untuk membeli rokok karena dalam perjalanan kemari di bus ac tidak diperkenankan untuk mereokok. Mulutnya asam, begitulah ia berkata padaku. Akupun sedikit tak menghiraukannya karena kerinduanku pada anak kecil ini.

Kuharap anakku tak pernah menanyakan tentang bapaknya. Itulah pertanyaan yang selalu menghantuiku. Karena aku sendiri bingung untuk menjelaskan kepadanya. Karena aku sendiri tak pernah mengetahuinya. Tuhan semoga tak pernah terlintas pertanyaan itu dalam benaknya, doaku dalam hati.

“ibu....ibukan bekerja di kantor pelacur, pelacur itu apaan sih bu?”.”jika sudah besar, kata kakek, aku akan menjadi seperti ibu, cantik dan pintar mencari uang, aku ingin jadi seperti ibu.....” Aku terhenyak untuk beberapa saat. Lalu kudekap ia. Kurasakan sesuatu mengali dari mata, pipiku basah dan menghangat.


Kalagalau, 21 April 2004


Kira-kira ini ada dalam lamunan saat dia meninggalkan saya

Pesta Sampah

Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pesta, hari itu terlihat super sibuk. Beberapa orang di dalamnya sibuk untuk mempersiapkan dekorasi yang mewah atau mungkin biasa saja untuk harga yang cukup pantas untuk membeli sebuah rumah di pinggiran kota.

Mobil sedan putih yang di atas kap mesinnya terentang sebuah pita merah jambu dengan hiasan bunga, terlihat melintas memasuki pelataran gedung. Seorang perempuan lengkap dengan memakai pakaian adat serta sanggul sebesar dua kepalan tangan, turun dan berjalan gemulai diikuti oleh dua orang yang lebih tua darinya. Beberapa mobil lainnya mengikuti menurunkan isinya yang bergerak masuk ke dalam gedung. Pengantin perempuan itu masuk ke dalam ruang rias pengantin ketika aku hendak menemuinya.

Dekorasi gedung belum sepenuhnya selesai, terlihat dari beberapa orang yang mempercepat menambahkan hiasan di sana-sini sebagai finishing touch dekorasi. Sesaat ku lihat jam tangan warisan ayahku menunjukkan pukul delapan, sekitar dua jam lagi sebuah ritual sakral akan berlangsung. Selama itu pula aku melihat-lihat dekorasi yang telah menyulap gedung menjadi sebuah taman dengan nuansa hitam-putih.

Bangku pelaminan dipersiapkan menyerupai sebuah singasana kerajaan untuk kedua mempelai sebagai raja dan ratu sehari. Harum semerbak bunga Melati bercampur dengan Casablanca benar-benar memanjakan penciumanku yang telah terbiasa dengan bau pengap kamarku. Latar belakang pelaminan itu sebuah gebyog terbuat dari kayu jati yang di pesan khusus dari Jepara, dipadukan dengan beberapa batang pohon Palm sebagai penambah suasana taman.

Sebelah kanan pelaminan itu terdapat gazebo yang nantinya akan digunakan untuk makan siang pengantin yang sudah pasti lelah tersenyum dan salaman basa-basi dengan para undangan. Gazebo itu dihiasi dengan buah anggur di antara tiang-tiangnya sehingga suasana seolah berada disebuah taman anggur. Beberapa meja tertata rapi turut memadati ruangan ini dan masing-masing meja terdapat tulisan yang menandakan menu hidangan. Sedangkan di sebelah kirinya beberapa orang dengan pakaian tradisional Sunda sedang bersiap-siap di depan gamelan untuk penyambutan raja dan ratu sehari di istana ini.

Aku lirik jam tanganku, tinggal beberapa menit lagi, akupun keluar gedung karena sebuah Mercedes hitam dan beberapa mobil mewah lainnya sudah terlihat masuk ke dalam pelataran gedung tersebut. Tiga orang turun dari mobil pertama, salah satunya terlihat tersenyum bahagia dengan menggunakan stelan jas berwarna hitam serta songkok nasional menghiasi kepalanya. Seorang pembawa payung terburu-buru menghampiri rombongan dan melindungi pria tersebut dengan payung besarnya yang berwarna perak. Di belakangnya rombongan mengikuti dengan berbaris rapi sambil membawa beberapa cendera mata yang dihias berwarna-warni. Aku hanya tersenyum masam melihat semua itu.

Kafilah itu berjalan teratur memasuki gedung dengan disambut oleh orang tua pengantin perempuan yang menyalaminya dan mengalungkan rangkaian Melati di bawah gapura istana. Rombongan tersebut duduk di kursi yang menghadap ke sebuah meja berbalut kain putih, kecuali itu, pria tersebut langsung duduk di meja putih ditemani oleh pria yang lebih tua darinya. Mereka diperintah oleh MC yang mengatur jalannya kesakralan atau kekonyolan itu.

Sesaat kemudian keluarlah si Ratu dengan pakaian adat Sunda lengkap dengan hiasan bunga melati, yang kali ini menurutku berbau busuk, ya.. kiraku seperti bangkai di tempat sampah. Semuanya khidmat. Setelah semua berbasa-basi, tanda tangan, semuanya bertepuk tangan, seraya berkata dalam bahasa arab. Entahlah hanya aku yang tak berpura-pura seperti mereka. Selesai kekonyolan itu si raja dan ratu ke kamar rias, yang lain mencicipi kudapan dan minuman seadanya.

Hanya aku mungkin yang enggan makan dan minum. Hanya aku mungkin yang menganggap ini kekonyolan umat manusia. Si raja dan ratu sudah keluar kembali dengan pakaian yang berbeda dan duduk di singgasana. Para tamu, kerabat menghambur ke singgasana untuk hanya sekedar berbasa-basi, cium pipi, dan mengeluarkan amplop putih yang kemudian dimasukannya ke dalam gentong.

Ah dekorasi ini, gedung ini, semuanya adalah sampah. Para tamu pun begitulah yang mereka nikmati hanya menu-menu yang dihidangkan di atas meja, mungkin mereka tak peduli siapa yang berada di singgasana itu. Mereka tak lagi menghiraukan aku, ya aku yang waktu tiga bulan kemarin masih mereka tanya kapan melakukan kekonyolan seperti ini. Mereka telah lupa kata-kata mereka. Sekarang perutlah yang mereka hiraukan atau lidah mereka yang dimanjakan oleh makanan Sunda sampai Eropa atau sampah-sampah ini.

Aku hanya menatap singgasana itu. Kuhilangkan si raja dalam khayalku. Kuganti dengan aku yang duduk di sana, sambil tersenyum bahagia, bukan kekonyolan tapi kesakralan, bukan bau sampah tapi harum melati. Sudahlah di sana bukan aku yang duduk tersenyum, tapi pria itu, yang hanya dikenalnya tiga bulan lalu di sebuah Cafe internasional, yang memanjakan ia dengan menu-menu Eropa, yang menghiasi jarinya dengan belaian sebuah berlian.

Malas rasanya kulangkahkan kaki untuk menyalaminya, megucapkan selamat atau megutuknya. Tapi ego gentlemenku memaksa untuk menaiki tiga tangga singgasana itu. Tanganku kusia-siakan, orang tuanya kusalami, tanpa kata sepatahpun karena di belakangku masih banyak orang. Setelah itu si raja lalu si ratu, kelu rasanya lidah ku. Lalu orang tua si raja. Lalu turun, keluar dari kerumunan lalat yang mengerubungi sampah itu.
Langit gelap, mendung, kuacungkan jari telunjukku setelah sampai di pinggir jalan yang meramai oleh lalu-lalang kendaraan. Sebuah angkutan umum berhenti di depan kepenatanku.

****************************************************

Ruangan ini sudah tak nyaman lagi untuk menampung sepi, dan merubahnya menjadi puisi. Seminggu sudah pesta sampah itu berlalu, tapi hanya aku yang tinggal dan tak kunjung membusuk. Malah rindu yang tumbuh seperti cendawan dalam kalbu. Gagang telepon sudah kugenggam, tinggal satu nomor lagi, tapi jari ini seolah terkunci, lalu kusimpan kembali gagang itu.

Tuuuuut.........tu.........t..... setelah beberapa kali gagal pada detik penentu, akhirnya sepi ini memberanikan diri untuk menghubunginya. “Eeeeuuu... Rin...Rina...nya ada bu” terbata aku menyebut namanya, “oh tunggu sebentar”, “ hallo...” suara ini yang aku rindukan, yang jadi tema dalam buku harian atau puisi picisanku. “saya Tony ee..uu...”. belum selesai aku bicara dia memotong pembicaraan. “ hei....kemana sih kamu teman nikah kagak datang, kamu masih menganggap aku temanmu kan.......”.


Kalagalau, 20 April 2004


Seorang Pahlawan bisa saja menjadi Pecundang dari sudut yang berbeda

PAHLAWANKU

Jalan-jalan protokol sampai jalan desa hari ini mulai ramai oleh suara teriakan yang terkadang setengah makian untuk suatu rezim yang dianggap membuat rakyat banyak menderita. Sebentar lagi panggung-panggung hiburan didirikan, seseorang akan berdiri di tengah panggung seraya membusa dengan janji-janjinya. Setelah itu alunan musik dan goyangan penyanyinya menyihir dan membuat lupa akan janji yang ditawarkan. Seperti itulah ritual yang tak pernah berubah dari dulu.

Beberapa truk, mobil pickup, dan puluhan motor dengan pengendara tak ber-helm meneriakkan yel-yel partainya. Lewat di depan gang rumahku. Anak-anak kecil yang tak tahu menahu tentang politik menyambut kafilah tersebut seraya meneriakkan yel yang sama. Panji-panji pun turut berkibar seiring deru mesin yang dipacu tak karuan.
Pesta baru saja dimulai, demokrasi tengah diuji, diracik di dapur rakyat yang sekedar menginginkan kelayakan hidup. Mungkin peserta konvoi itu bukan hanya simpatisan di bawah panji yang dibawanya, tapi orang yang dibayar beberapa ribu untuk sekedar isi bensin dan jajan bakso.

Penduduk sekitar rumahku, yang dicap sebagai penghuni daerah kumuh oleh pemerintah menjadi sasaran empuk para calon yang nantinya akan duduk di kursi rapat sebagai wakil yang menyuarakan aspirasi pendukungnya(katanya). Penduduk sekitar rumahku tak perlu tahu tentang ilmu politik atau malah para calon pun tak mengetahuinya. Hal yang penting untuk para calon adalah dukungan pada saat pemungutan suara, dan yang penting bagi pendukungnya terutama penduduk sekitarku adalah kaos dan uang beberapa ribu setelah kehabisan suara untuk berteriak.

Beberapa tahun yang lalu masih terngiang jelas ditelinga suara anakku dua hari sebelum ia memakai kaos pemberian dari calon wakil itu. Katanya ia akan diberi uang, asal saja ikut dalam arak-arakan, membawa panji, berkaos seragam dan meneriakan yel-yel, “gampangkan cari duit pak” tambahnya dengan senyum. “Tapi awas jangan bolos sekolah, itukan bukan hari libur” aku mengigatkan. “ bolos sehari tidak mengapa kan pak, lagi pula uangnya bisa buat adik, ia kan sudah lima bulan belum bayar SPP, sebentar lagi ujian mana boleh ia ikut kalau belum bayar” kilahnya membuat aku tak bisa berkata-kata lagi.

Saat matahari terik membakar bumi, Dadan, anakku serta teman-teman satu benderanya melintasi kantor pusat partai yang warna benderanya tak sama dengan kafilah anakku, ia dilempari batu dan air comberan. Kontan saja kafilah yang terdiri dari truk-truk pengangkut pasir yang kini memuat para pendukung bayaran itu membalas dengan ejekan-ejekan yang akhirnya bentrokan fisikpun tak dapat dihindari. Anakku tersungkur setelah sebuah balok kayu menghantam kepalanya. Ia pun langsung dilarikan ke Rumah Sakit yang tak jauh dari tempat kejadian tersebut. Begitulah cerita yang kuingat saat Dadan datang ke rumahku.

Mulanya aku tak pernah memikirkan masalah biaya pengobatan, tapi setelah beberapa hari aku mulai sadar sekaligus bingung darimana aku dapatkan uang yang sangat tak sedikit itu. Anakku telah melahap beberapa labu darah dari PMI yang kutukar dengan cincin kawin yang dipakai istriku. Tak sampai disitu saja kebutuhan anakku, tapi kami tak lagi mempunyai uang untuk segala kebutuhannya.

Pernah aku mencoba untuk meminjam uang, tapi keadaan tetangga-tetanggaku pun tak jauh berbeda denganku, berada di bawah garis kelayakan hidup. Seminggu setelah dirawat anakku pun meninggal karena pendarahan diotaknya. Kami sekeluarga menangisi kepergiannya, kami percaya ia anak yang berbakti pada keluarganya, ia pahlawan bagi kami.

Anakku bukan pahlawan bagi parpol, yang panjinya ia kibarkan diatas truk dengan bertelanjang dada, yang ia bela dengan tinjunya. Dimata calon wakil itu ia hanyalah orang yang konyol karena berbuat nekat, tak mematuhi peraturan, tak hati-hati, bertindak sembrono dan seabrek kata lainnya yang dipidatokan mengawali pementasan musik dangdut di perkampunganku. Sebuah ritual, strategi lama yang masih dipakai untuk membius, dan membuat lupa masyarakat atas apa yang telah ia janjikan dengan berapi-api.

Tet ......tet.......tet ....... suara klakson saling bersahutan membuyarkan lamunanku yang mengawang ke masa lalu, beberapa tahun silam. Seorang bocah botak berjoget sambil meneriakan yel-yel kafilah yang lewat.

Akupun pulang ke rumah rindu anakku yang tinggal semata wayang. Di atas meja di ruang tamu yang sekaligus tempat makan dan ruang nonton TV, sebuah surat edaran yang di fotokopi tergeletak disana. Kuambil dan kulihat tapi sebelum kubaca istriku datang “ oh itu ada surat dari Dadan, katanya mau ngajak kampanye, lima puluh ribu loh pak” katanya dengan girang.

Mungkin ia telah lupa kejadian lima tahun lalu karena terlalu sibuk mencuci, dan menyetrika pakaian majikannya.



Kalagalau, 20 Maret 2004



Mencoba jadi Perempuan dengan gaya berbeda, dalam penulisan karena sebelumnya njelimet
Terima Kasih Tuhan

Udara terasa basah, setelah seharian kota ini diguyur hujan lebat. Lapangan parkir belum terlalu penuh, mungkin orang masih enggan bepergian ke tempat ini. Sebuah tempat untuk makan yang menunya lebih murah dibandingkan dengan harga atmosfernya. Tempat ini dahulu hanyalah jalan setapak dan sungai yang kanan-kirinya tebing basah dengan paku dan pakis haji di sana-sini. Seorang Perancis menyulapnya menjadi sebuah kafe berkelas Internasional.

Setelah mobil ku parkir, aku langsung masuk dan duduk di tempat yang bisa melihat kearah pintu masuk. Mungkin aku yang datang lebih awal dibandingkan dengan temanku yang lain.

”Hallo....” seruku setelah beberapa saat telepon genggam berbunyi. “gua udah di dalam, gimana sih katannya abis Maghrib....kalo udah sampai langsung aja lu masuk, gua pasti liat kok....oh...ya udah... hati-hati ya..

Sudah seperempat jam, masih saja belum ada yang datang. Padahal Jimmy menyuruhku datang selepas Maghrib. Sambil menunggu yang lain datang, aku memanggil pelayan dan memesan segelas milk shake strawberi.

Aku sebenarnya ingin tertawa miris jika kenangan itu kuingat kembali. Jimmy yang sejak pertama berkenalan denganku, katanya dia menaruh hati dan selalu menulis puisi-puisi cintanya setelah jalan bareng denganku, aku-nya sebelum ia memintaku menjadi pacarnya. Kontan saja aku tertawa dalam hati waktu itu, sebab perasaanku padanya tak lebih dari sekedar teman biasa. Tapi aku sembunyikan tawa ku, takut menyinggung perasaannya. Dengan pasang muka sedih ku utarakan bahwa jika sampai berkomitmen untuk menjalin hubungan ‘serius’ aku takut hubungan persahabatan menjadi kaku. Belum lagi jika komitmen itu harus berakhir dengan kurang baik. Ku berikan sederet data kasus-kasus yang terjadi padaku dan mantan pacarku, hubungan pertemanan kami menjadi renggang, satu sama lain jadi enggan tegur sapa.
Sebagian cerita itu ku tambah agar sedikit lebih buas dan Jimmy pun mau menerima alasanku itu. Tidak sia-sia aku di gembleng di sanggar teater sewaktu SMA dulu, masalah seperti ini sudah sering terjadi menimpaku. Setelah kejadian itu kami tetap bersahabat, jalan bareng, nonton, makan, dan ia pun sering ku minta untuk menjemput dan mengantarku pulang jika larut malam aku masih di luar rumah.

Lamunanku terusik, seorang pria berkacamata dengan pakaian rapi melambaikan tangannya sambil tersenyum ia melangkah masuk menghampiriku. Masyaallah..... Jimmy...aku berkata dalam hati. Aku berdiri dan membalas lambaian tangannya. Ia mendekat dengan agak terburu-buru, “ sorry, pasti udah lama ya.. he...he..jalannya macet, biasa malam Minggu... malam kencan.. bagi yang udah punya tentunya” . Aku masih ingat senyum ataupun untaian kata-katanya yang satir seperti itu, walaupun sudah sebelas tahun tidak bertemu. “ah lu gimana sih bat, katanya.....” belum berakhir kata-kataku dia memotong “iya.. maaf deh.. yang lain udah pada datang” . “belum” sahutku”. Aku memanggil Jimmy dengan sebutan ‘bat’, maksudnya sahabat. Aku pernah bilang padanya ini adalah sebutan sayang, tapi dia balas menjawab dengan kata-kata menyindir “ mungkin lebih tepatnya untukku bukan panggilan sayang tapi sayangnya cuma sahabat he...he...”.

Kami mengobrol, saling tanya walaupun tampak seperti basa-basi. Ia menanyakan tentang suami dan anak-anakku. Tapi sebelum aku bertanya balik tentang keadaannya teman-teman yang lain sudah tampak bermunculan, clingak-clinguk dekat pintu masuk. Kami melambaikan tangan, walaupun lampu-lampu agak redup tapi cukup terlihat dari pintu masuk kafe itu.

Diki, Abbas, Sari dan Selly bersalaman dengan kami, aku benar-benar merasa seperti muda lagi, seperti baru semester satu, saat ini. Kami terlibat dalam obrolan panjang, walaupun kami reuni cuma berenam. Menurut mereka sih banyak yang telah dihubungi tapi mereka masih ada pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Akupun menyampaikan salam pada mereka dari Hendry, Adam, Asep dan Nancy yang kuhubungi untuk datang diacara ini. Hendry, Adam dan Asep mereka pun tak bisa hadir karena ada di luar kota saat ini. Sedangkan Nancy tidak bisa datang karena anaknya yang berumur dua bulan tidak bisa ditinggal atau dibawa keluar malam.

Keasyikan kami bercengkrama melupakan kami akan detik-detik arloji yang terus berputar, tak terasa kini sudah jam sebelas. Handphone ku berbunyi, suamiku menelpon dan menanyakan jam berapa aku akan pulang, tapi dia sangat mengerti jika aku pulang larut, maklumlah baru ketemu sama teman-teman sejak sebelas tahun yang lalu.

Teman-teman yang lain selalu mengolok-olok Jimmy, ya.. begitulah ia selalu jadi bahan olokan dari dahulu apalagi jika menyangkut percintaan. Dia selalu ditolak oleh perempuan idamannya, termasuk oleh ku (aku keGe eRan). “Awas loh Mi jangan natap Rina terlalu lama ah nanti CLBK” seru Abas. “iya cinta lama bersemi kembali awas loh” Selly menambahkan. Aku hanya tersenyum saja sementara Jimmy yang dari tadi menatapku tersipu-sipu malu. “ woi.. inikan sudah jam dua belas mau sampai kapan kita disini aku takut disangka yang bukan-bukan nanti sama suami Rina nih” dengan nada bercanda Jimmy berkata.

Kami pun sepakat untuk waktu kedepan akan sering diadakan pertemuan seperti ini dengan membawa keluarga masing-masing. Setelah itu kami pun pulang kerumah.

Di rumah suamiku masih nonton pertandingan sepak bola, ia menanyakan bagaimana reuninya. Setelah aku cuci muka dan ganti pakaian, aku menceritakan semuanya, sambil tidur manja di pangkuannya.

Hari berganti hari menjadi bulan. Suatu saat aku teringat Jimmy kembali. Aku mencari dan membaca buku harianku saat kuliah dulu. Ternyata aku juga pernah berpikiran. Kenapa tidak aku terima saja permintaannya, toh pada waktu itu aku sedang tidak punya pacar. Tapi Jimmy mungkin tidak bisa menjadi pacar yang kuidamkan – bukan tipeku – dia nggak akan bisa mengajaku kencan ke tempat-tempat yang yahud. Bagaimana mungkin kuliah saja ia pas-pasan sering pinjam duit pula padaku. Aku tersenyum membaca kembali buku ini.

Halaman demi halaman kubaca, membawaku menembus ruang dan waktu saat aku berdua dengannya. Walaupun hanya sahabat, entahlah aku dan Jimmy seperti layaknya pasangan yang sedang berlayar di samudra cinta, kami pernah melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak pantas dilakukan oleh seorang sahabat ataupun pacar tentunya. Tapi aku sendiri menikmati dan rela diperlakukan seperti itu olehnya.

26 Mei hari perkawinanku dengan bang Prana, hari itu hari paling bahagia untukku setelah selama tiga tahun aku berpacaran dengannya. Selama itu pula hubungan antara aku dan Jimmy terputus, ya..setelah aku ngomong bahwa aku telah jadian dengan orang yang sering aku ceritakan padanya. Jimmy telah lulus studinya dan menjadi sarjana. Sempat aku menelepon beberapa kali tapi ibunya bilang ia pergi bekerja di Sumatera. Setiap lebaran aku menyempatkan diri untuk meneleponnya tapi jawaban sama kudapatkan ia tidak pulang. Pada hari pernikahan ku ia pun tidak datang meskipun aku telah memberi undangan yang kusampaikan pada ibunya. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya, aku tengah bahagia dengan bang Prana.

Aku menutup buku harian itu, adzan dzhuhur memanggilku untuk shalat. Hari ini suamiku pergi keluar kota, baru seminggu dia akan pulang. Handphone ku berbunyi, Jimmy mengirim SMS padaku. Aku membacanya dan hanya tersenyum “ Na, Aku ke rumah ya kangen he..he..”. Jiwa isengku kembali muncul, aku membalasnya “ silahkan, mumpung suami gua lagi ke luar kota” entahlah jari jemariku menekan keypad dan kata seperti itu yang muncul. Dia tak membalas kembali SMS ku, tapi aku tak terlalu memikirkan itu, mungkin ia hanya iseng saja menggodaku. Anakku yang duduk dibangku kelas dua pulang dari sekolahnya, aku menyiapkan makan untuknya. Setelah makan ia menonton film kartun kesukaannya.

Suatu pagi beberapa hari kemudian telpon rumah ku berdering, Jimmy meneleponku dan mengajak bertemu dengan ku. Aku menyetujui ajakannya untuk bertemu siang itu di sebuah restoran fast food. Sebelum pergi aku mandi dan berdiri berlama-lama di depan cermin kamarku. Baju kupersiapkan tapi rasanya yang ini ataupun yang itu tidak cocok untuk kupakai, kucoba beberapa stel pakaian ah..... tapi mengapa aku seperti saat remaja saja yang sedang mengalami masa puber. Setelah merasa dengan pakain yang cocok, aku menatap wajah dalam cermin tampak kerut sekitar mata dan keningku. Beberapa make-up aku pakai untuk menutupi sedikit kerutan yang menghiasi wajahku.

Ku starter mobilku, pergi menuju ketempat yang di janjikan. Jimmy sudah ada disana menungguku, tetap dengan stelan rapinya seperti yang ia kenakan saat reuni. Kami berdua makan dan ngobrol kesana-kemari. Ia berkata masih kangen padaku, dan mengajak untuk datang mengunjungi rumahnya. Aku seperti biasa sulit untuk menolak ajakannya itu dan menyetujuinya. Oh ya aku belum menceritakan bahwa Jimmy belum mempunyai istri sampai saat ini alasannya karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya jadi belum berpikir kearah sana. Sesampai di rumahnya mobil kuparkir di pelataran depan.

Sebuah rumah yang menurutku tidak cocok jika hanya dihuni oleh seorang pria lajang, sudut-sudut rumah itu perlu sedikit sentuhan perempuan untuk menambah keasrianya. Aku duduk di ruang tamu sementara Jimmy menyuruh pembantunya menyiapkan minuman untukku. Di ruang tamu itu tergantung lukisan besar seorang penari perempuan berbaju merah muda. Seperti fotoku yang diberikan padanya dahulu untuk meghiasi dompetnya, daripada ia memajang foto dua ekor monyet yang katanya gadis idaman.

Aku memandangnya, tapi aneh dan tak kumengerti sama sekali, pandanganku padanya bercampur perasaan lain yang dulu memang tak ada untuknya. Aku menjadi kaku ketika ia bertanya macam-macam tentang teman-teman kami dahulu sewaktu kuliah. Aku sangat terbawa suasana, rasanya aku masih seperti remaja yang di serang virus cinta monyet. Tatapan matanya pun menjadi hangat, suaranya .. ah aku sudah tak sanggup lagi untuk berkata-kata dengan wajar. Arah pembicaraan menjadi ngelantur. Apalagi ketika ia mengatakan masih suka terhadap orang yang dahulu pernah menolak cintanya. Dalam hati aku berkata sendiri mungkin perempuan itu adalah aku.

Perempuan sama saja seperti aku setidaknya tak tahan akan pujian atau rayuan pria. Dia mendekati aku yang duduk di kursi panjang sambil menunjukan album foto koleksinya yang berada di bawah meja. Mendekatnya ia membuat jantungku berdebar, ia semakin dekat saja sehingga kulit tanganku menyentuh tangannya yang sedang menunjuk fotoku sewaktu aku menari dalam acara Ulang Tahun Fakultas. Ia memandangku dan mendekatkan bibirnya ke keningku, ia menciumku, aku hanya terdiam saja. Tangannya memegang tanganku, setelah album foto ia tutup dan disimpan di atas meja. Sentuhan tangannya menggetarkan seluruh tubuh serta jiwa dan mendidihkan setiap sel darah merahku.

Sekarang bukan kening yang menjadi sasaran bibirnya, tapi bibirku juga, tangannya melingkar dipinggangku. Aku sekarang tak hanya diam saja ku balas setiap setuhan hangatnya. Sekali lagi dia menaklukan aku, aku menikmatinya dan rela diperlakukan seperti itu olehnya. Tangannya mulai berpindah kekancing-kancing bajuku, aku merasakan semilir angin mengelus tubuhku.

Handphoneku berbunyi, aku tersentak seraya mengancingkan kembali bajuku yang sudah setengahnya berhasil ia buka, kulihat ia sangat kecewa. Anakku menelpon dari rumah katanya ia sudah pulang sekolah dan menanyakan aku sedang dimana. Jimmy meminta maaf padaku atas perbuatannya itu, tapi aku sendiri tidak merasa bahwa itu adalah kesalahannya, karena akupun rela atas hal itu tapi sekarang sudah tidak mungkin lagi. Anakku menunggu dirumah. Akupun pamit pada Jimmy yang mengantarkan aku sampai depan rumahnya. Sampai di rumah ku peluk anakku dan menciuminya. Terima kasih Tuhan, Kau telah selamatkan aku.

Kalagalau, 22 Maret 2004
 
diketik oleh helmi matari
0 ada komentar?
seperti mentari yang tak mengeluh pada harus