Friday, January 05, 2007,3:38 AM
Songs Of Matador
dulu saya pernah menulis di buku harian, jika ingat kadang saya tertawa sendiri, kok saya menulis curhat gayanya kampring banget hehehehehehe sekedar untuk mengingat, bukan untuk bersedih, hanya untuk menertawakan hidup "Songs Of Matador" sebuah Ring Tones HP Samsung.........
ini bukan cerita khayalan asli loh


Tut….tulalit..tuut seperti itulah suaranya ketika jari-jemari lembutnya mempermainkan sebuah alat hasil dari inovasi yang nenek moyangnya dahulu mengantarkan A. Graham Bell menuju keabadian. Akupun mulai muak dengan semua itu, dia sekarang tak lagi sendirian ataupun hanya denganku. Kemanapun teman kecilnya itu yang menemani. Hampir tak ada aku, semua pembicaraan yang biasa aku dengar sekarang tak ayal lagi menjadi suara tut…tulalit…tut.
Dia hanya tersenyum dan sesekali terdengar gerutunya sambil memonyongkan bibirnya. Bibir yang selama ini selalu menjadi pusat perhatianku, membawa aku terbang melewati hari esok. Bibir yang dahulu pernah berkata tidak untuk sebuah permintaanku dan akhirnya memaksa tanganku untuk membuka lagi sebotol minuman seakan aku berada di pantai Rusia pada awal musim panas.
Sekarang sudah bukan zamannya lagi menulis surat-surat dengan bahasa yang mengawang karena tut..tulat..tut menggantikan kriiing.. kring suara sepeda pak pos yang setiap senin kutunggu kedatangannya.
Aku sendiri tak pernah tahu dengan siapa ia berbalas pantun melalui alat itu tapi yang jelas tak mungkin alat itu menjawab semua pertanyaan ataupun memberikan pandangan tentang suatu hal yang terjadi padanya. Di sana nun jauh di negeri antah berantah seseorang sedang melakukan hal yang sama dengannya. Mungkin ia tersenyum, untaian kata-kata singkat terpampang di layar ponselnya. Negeri yang menurutku antah berantah dekat dan nyata di hatinya.
Matahari sebentar lagi akan bersembunyi di balik sebuah gedung yang dibangun untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Ia mulai beringsut pergi walau dengan malas, tetap saja harus penuhi takdirnya. Takdir yang tak pernah ia sendiri mengerti apakah adil Tuhannya melarang ia bertemu dengan dewi rembulan yang konon sinar sejuknya menghiasi berbagai tulisan para pujangga yang sedang kasmaran. Akupun pernah menjadi pujangga dadakan saat mata hatiku tak bisa berpaling darinya yang tak pernah menganggukan kepalanya untukku. Sepuluh puisi berhasil ku tulis walau tak pernah ingin ku berikan padanya karena ku yakin dia akan tertawa atau tersenyum masam. Puisi yang memuja helai demi helai rambutnya, sejengkal demi sejengkal tubuhnya dan merahnya bibir itu hanya tersimpan di dalam buku harian yang sampulnya telah rusak oleh rayap.
Kami duduk berdua menatap kepergian Mata Dewa, sambil bertanya dalam hati mungkinkah besok dia masih mau melihat dunia ini yang telah berjuta tahun ia temani. Suasana senyap. Sinar kemerahan berubah lambat menjadi hitam yang kian pekat.
Kepalaku mendongak keatas melihat bulan ditemani bintang-gemintang, sesekali kulirik pula bintang di sebelahku yang cahayannya hanya sepotong terlihat dariku. Dia pun sama pandangannya seribu mil keatas mengawang, memimpi dan mengharap.
Bintang jatuh seruku dalam hati, aku ingin ‘ini’ bola mataku reflek berlari kesudut kanan wadahnya tempat aku bisa merekam senyumnya. Mulutnya pun komat-kamit tapi bola matanya tak berlari kesebelah kiri, tempat aku duduk dan merindu.
Songs of matador sebuah ring tones berbunyi dari alat kecilnya itu, lagi-lagi Tuhan menangguhkan doaku. Seketika aku menjadi mahluk ghaib, bisa melihat dan mendengarnya tapi dia tak melihat dan mendengarku.
Oh….ya…he…euh…..sama temen! …gerbang selatan…cepet doong ….begitulah kira-kira suaranya manja.
Songs of matador entah siapa yang membunyikannya yang jelas kulihat wajahnya sumringah berkebalikan denganku.
Bat..........begitulah ia memanggilku sebagai penegasan untukku bahwa aku hanya sahabat dimatanya. Aku pun setuju dengan panggilan ‘sayang’ itu, setidaknya untuk menyembunyikan perasaanku yang terpendam. Perasaan yang ku kubur selama tiga tahun sejak pertama aku melihatnya. Sekarang perasaan ini gentayangan ingin mencari jasad yang tak pernah mau menerimanya.
Songs of Matador berbunyi, tuts hijau itu ia pencet lagi seperti sebelumnya kata-kata singkat dan manja keluar dari bibirnya. Aakh ..h dimana sih.... kok lama banget bete tau..... ”Bat..... tungguin sebentar lagi ya......palii..ng lima belas menitan lagi kata si Japra sih macet di jalannya” ia bekata padaku.
Hatiku berdebar seperti malaikat maut akan datang, tak tahu kapan tapi pasti. Sebenarnya aku berharap laki-laki itu tidak datang, jangankan lima belas menit berjam-jam pun aku mau asal tak berakhir dengan kedatangannya.
Sebuah sedan putih melambatkan lajunya aku melihatnya walaupun jauh di hadapan kami terhalang oleh pagar jeruji. Songs of Matador berbunyi lagi, bagiku seperti Isrofil yang meniup Sang Sakala pada akhir zaman. Habis sudah waktu berduaan dengannya. “Tuh dia datang” serunya sumringah. “ Bat si elu memang temen gua ya.. satu-satunya temen gua yang paling baik” tambahnya lagi. Glek air liurku berbunyi, bagiku itu bukanlah pujian tapi cemeti yang mencambuk ulu hatiku. “Semoga hari lu menyenangkan ya” sambil tersenyum getir aku berbasa-basi.
Laki-laki itu membuka kaca jendela mobilnya sambil melambaikan tangan. Tanpa menoleh kearah ku lagi bintang pujaan hatiku pun mendekati mobil itu, masuk, lalu terdengar suara gas diinjak. Sedan putih itu melaju kembali dengan suara knalpot riuh meludahiku. Sang Matador telah telah pergi meninggalkan pedangnya di ulu hatiku.
Sebatang rokok kunyalakan, kuhisap dalam-dalam seakan asapnya tak mau ku keluarkan lagi. Tas ransel ku gendong kembali. Kecewa mengiringi langkah kakiku, sumpah serapah senada dengan nafasku. Aku tak tahu harus bagaimana lagi, aku hanya temannya, salah seorang dari ratusan temannya.
Suasana sunyi. Bintang-gemintang di langit pun tetap ada tak berubah sama sekali, tak pernah peduli terhadap apapun. Telunjukku reflek bergerak ke sudut mata kiriku. Setetes air tergenang di sana. Aku menangis walaupun hanya setitik air saja yang keluar.



Cimindi, 22 Maret 2004
 
diketik oleh helmi matari
0 ada komentar?
,2:58 AM
Perselingkuhan batin
cukupkah aku hanya berucap,
oh Tuhan terkadang aku menduakan Mu,
Yang aku cemas,
Bukan karena aku tak shalat,
kenapa hati ini,
kenapa Dzikir ini,
bukan nama Mu yang kusebut,
hanya namanya yang kusebut,
pagi,siang, malam,
ketika adzan sengaja mengusik tidurku,
ketika kain sarung kujadikan selimut,
sajadah jadi alas tidur,
sewaktu mereka shalat, aku bermimpi,
memeluknya dan bercumbu,
Iqamah lagi-lagi usik mimpiku,
bukan-bukan tak shalat yang aku cemas,
memikirkannya lebih,
mencintainya lebih,
yang aku takut selingkuh dari MU.
 
diketik oleh helmi matari
0 ada komentar?
seperti mentari yang tak mengeluh pada harus